Wednesday, 10 May 2017

HAKEKAT ILMU MENURUT KONSEP AL-GHAZALI

Selamat pagi, siang, sore, dan malam para pemirsa yang budima hehe sedikit menyapa setelah sekian lama tak berjumpa dengan postingan saya yang bisa dibilang begitu-begitu saja alias datar.... maafkan lah karena saya masih amatir (hehee). ok kali ini saya akan berbagi materi mata kuliah saya.... mata kuliah ini mungkin jarang ada di beberapa universitas. ya.. langsung saja .....



HAKEKAT ILMU
MENURUT KONSEP AL-GHAZALI


Disusun Oleh :

Verawati Krisnen
(16862061018)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Imu Al-Ghazali
Dosen Pengampuh: Drs. KH. Nasrulloh, M.H.
                                                                            


Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA AL-GHAZALI
Semester Genap Tahun Akademik 2016/2017






KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Morfologi Bahasa.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Cilacap, 2 Mei  2017


Penulis






DAFTAR ISI


Halaman Judul................................................................................................ i
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.  Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
A. Hakekat Ilmu Menurut Konsep Alghazali............................................ 2

BAB III PENUTUP....................................................................................... 10
A.  Kesimpulan........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 11







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Definisi ilmu terdiri dari dua kata, yaitu kata filsafat dan kata ilmu.  Masing-masing memiliki makna yang berbeda dan hakekat yang berlainan. Kata filsafat sebagai pengetahuan tentang kebijaksanaan (Sophia), prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam, dan tuntas (radikal) dalam memperoleh kebenaran. Adapun ilmu (Science), diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu, atau bagian dari pengetahuan.
Dalam pengertian filosof  hakekat ilmu sering dikaitkan dengan pengetahuan. Namun bagaimana hakekat ilmu menurut konsep Al-Ghazali dan apa yang membedakan dari pendefinisian dan konsep ilmu menurut Al-Ghazali dengan definisi para filosof lain yang sering kita dengar bahwa Al-Ghazali banyak tidak sependepat dengan para filosof.

B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat ilmu menurut konsep Al-Ghazali ?

C.    Tujuan
1.  Mengetahui hakekat ilmu menurut konsep Al-Ghazali.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakekat Ilmu Menurut Konsep Al-Ghazali
Mengenai hakekat ilmu secara mutlak (tidak dikaitkan dengan objek atau disiplin tertentu), para ulama islam berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, (a priori),yang dapat dikonsepsi hakikatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, atau nazari (interferensi), tetapi sulit mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit didefinisikan.
Pendapat pertama dianut antara lain oleh Fakhr Al-Din Al-Razi, pendapat kedua antara lain oleh Al-Juwaini dan Al-Ghazali, dan pendapat ketiga oleh jumhur (mayoritas) ulama.
Mestinya jumhur ulama (Bayaniyyun) mengakui sulitnya pendefinisian ilmu, sebab ternyata di kalangan merka sendiri bermunculan aneka definisi dan masing-masing hanya membenarkan definisi sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah sebagai berikut.
a.       Definisi Mu’tazilah:
“Ilmu adalah mengitikadkan (mempercayai) sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya (bila ia muncul secara daruri atau nazari)”

Seperti dirumuskan ‘Abd Al-Jabbar (325-415 H) bahwa Ma’rifah dirayah, atau ilmu adalah:
“Apa yang menghasilkan  ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman hati.”

b.      Definisi Bazdawi (427-493 H), dari Maturidiyah, sebagai berikut:
“Ilmu adalah menangkap objek ilmu sesuai kenyataan.”
Definisi Jurjani, seorang Maturidi lain, sebagai berikut:
“ia (ilmu adalah I’tiqad (kepercayaan) yang pasti dan sesuai dengan realitas (objek).”

c.       Definisi Juwaini (419-478 H) dan Baqillani (keduanya dari Asy’ariyah), dan Abu Ya’la (dari Hanabilah) sebagai berikut:
“ilmu adalah mengetahui objek ilmu sesuai realitasnya.”

d.      Definisi Ibn Hazm (384-456 H/ 924-1064 M), sebagai berikut:
“Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri.”

e.       Definisi Asy Syaukani (w. 1255 H), dari family Zaidi, yang didukung Qannuji, sebagai berikut:
“Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara sempurna.”

Bahkan beberapa kaum filosof turut ikut mendefinisikan ilmu, seperti berikut:
a.       Definisi Ibn Rusyd (520-595 H/ 1126-1198 M) :
“Sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri.”
b.      Definisi para filosof kuno:
“Ilmu adalah terhasilkannya “gambar” sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal atau particular, baik ada maupun tiada.”
Sebaliknya, bagi al-Razi (544-606 H/ 1149-1209 M), pengonsepsian ilmu merupakan sesuatu yang a priori (daruri), sebab segala sesatu selain ilmu tidak tersingkap, kecuali dengan ilmu, sehingga mustahil, ia menyingkap ilmu, dan semua orang yang mengetahui secara a priori keadaaanya mengetahui keberadaanya, sedang pengonsepsian ilmu merupakan bagian darinya. Karena bagian dari yang a priori adalah a priori, pengonsepsian ilmu adalah a priori. Ia menolak statemen bahwa ilmu adalah tercetaknya “gambar” yang sama dengan objek pada mental subjek, sebab kesamaan menghendaki yang mengetahui panas dan dingin haruslah “panas dan dingin”.

            Walaupun dalam hal ini Al-Ghazali mengikuti gurunya Al-Juwaini, namun beliau memiliki konsep dasar yang melatar belakangi yang membedakan dengan pendapat sang guru, yaitu mengenai hakekat yang “ada” yang membentuk konsep mengenai hubungan lafaz-makna dan definisi. Dari klasifikasi “ada” (wujud) dibagi menjadi empat derajad yaitu:
1.      “Ada” sesuatu ada realitanya sendiri.
2.      “Ada” dalam konsep mental yang disebut ilmu.
3.      “Ada” dalam lafaz (ungkapan lisan).
4.      “Ada” dalam tulisan.

Al-Ghazali berpendapat bahwa makna lebih penting daripada lafaz, karena itu mengenai definisi. Definisi menurut Al-Ghozali dibagi menjadi tiga yaitu:
1.      Definisi esensial (haqiqi).
2.      Definisi formal-diferensial (resmi).
3.      Definisi redaksional-eksplanatif (lafzi).

Fungsi dan tujuan definisi adalah memperjelas apa yang belum jelas. Definisi diperlukan untuk mengonsepsi hal yang tidak dapat dikonsepsikan secara apriori, seperti makna simpelia tidak menegaskan apakah pengonsepsian hakikat “ilmu” itu  a priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya bahwa hakikat ilmu sulit didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi, dan persyaratan definisi sendiri, maupun karena pendefinisian hakikat ilmu selalu terikat dengan konsep ontologis pembuatnya. Dan pada kenyataannya banyak para ulama dalam kitab-kitab mereka mendefinisikan ilmu berdasarkan kategori definisi formal.
Bagi Al-ghazali ilmu secara substansial hanya satu, tidak ada pemisahan pada “ilmu lahir” dan ilmu batin”, kecuali dari segi objeknya. Menurut Al-Ghazali dan Al-juwaini, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memperoleh makna formal, dan dengan contoh untuk memperoleh makna esensial. Dengan analisis, ilmu berbeda dengan iradah (kehendak), qudrah (kemampuan) dan sifat jiwa lain, dan berbeda dengan i’tiqad (prepsuposisi), zann (dugaan kuat), syak (skeptik), jahl (ketidak tahuan) dan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik.
   Berdasarkan metode analitik dan dengan tiga criteria ilmu yang menyangkup aspek ontologism, epistimologis, dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali, di ikuti dan dirumuskan oleh Ar-Razi bahwa ilmu adalah. “putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah (mujib) tertentu” berakar pada jalan a priori. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula dengan cara mengikuti orang yang diperintahkan Allah untuk diikuti, meskipun bukan ilmu a priori dan tanpa argument, sehingga yang mengitikadkan dan menyatakannya sudah memiliki ilmu dan ma’rifah mengenai objek dimaksud.
Bagi Al-Ghazali, pertanyaan yang pasti dari subjek selain nabi tentang wahyu yang diterima nabi dan sesuai dengan realitas wahyu dan nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut, juga adalah ilmu (tentang ilmu), sedangkan tanpa argument adalah I’tiqad, dan yang tidak pasti adalah zann atau syak, dengan peringatan bahwa “yang tidak mencapai tingkat kasyf dengan zauq (intuisi) tidak mengetahui dari esensi kenabian, kecuali sekadar nama”. Di sini Al-Ghazali berbeda dengan Ibn Hazm yang mengakui juga I’tiqad tanpa argument terhadap kebenaran ajaran nabi, seperti pada orang awam, sebagai ilmu.
           
Bagi Al-Ghazali, ada tiga macam tasqid (assent) secara gradual, yaitu:
1.       zann (dugaan kuat) , yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara dengan mengakui kemungkinan benar sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak dihalangi kecondongan pada yang pertama.
2.      I’tiqad jazim (kepercayaan yang teguh/tetap), yaitu tasdiq yang pasti, yaitu seseorang tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain. Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan secara kuat dari manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti nabi, hal itu menimbulkan keraguan tertentu terhadap kepercayaanya
3.      ilmu yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti, disertai keyakinan yang pasti disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang pasti itu benar, yakni kedunya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau keliru, dan tak terbayangkan pendapatnya akan berubah dengan alas an apa pun.
Karena itu, dengan mengatakan bahwa zann hanya bisa diakui dalam dunia dan disiplin ilmu praksis (amal dan ilmu ‘amali), seperti ilmu fiqih dan ilmu-ilmu empiric-eksperimental (tarbiyyah), imam (keyakinan keagamaan) terbagi tida kelas secara gradual,
1.      Imam awam, yang berdasarkan taqlid murni (mengekor tanpa argument),
2.      Imam mutakallimin, yang didukung oleh semacam argument, dan
3.      Imam ‘arafin (yang memiliki ma’rifah), yaitu yang berdasarkan mukasyafah (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian) melalui riyadah (latihan spiritual) dan mujahadah (perjuangan) tertentu.
Ilmu macam itulah (ilmu yaqini) yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak dari filsafat ilmunya, seperti dinyatakannya sebagai berikut:
“lalu aku berkata dalam diriku: Pertama-tama apa yang kucari adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu mengetahui apa itu hakikat ilmu. Lalu tampaklah kepadaku bahwa ilmu yaqini adalah (sesuatu) yang degannya objek ilmu terbuka dengan keterbukaan yang tidak mengandung keraguan keraguan dan kemungkinan salah satu wahm (estimasi). Kalbu memang sulit untuk menentukan hal itu, tetapi rasa aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ia ditanyakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah batu menjadi emas, atau mengubah tongkatmenjadi ular, misalnya, hal ini tidak menimbulkan sedikit pun keraguan atau kemungkinan salah dalam diriku. Sebab, bia aku mengetahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain mengatakan, “tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10 dengan bukti bahwa aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular”, dan kusaksikan memang terbukti demikian, hal itu hal itu tak menggoyahkan ma’rifah-ku, dan tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku, selain kekaguman atas kemampuannya mengenai hal itu. Adapun skeptic dalam diriku tidak. Kemudian, aku tahu bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui dengan cara seperti ini, dan aku tidak meyakininya dengan tingkat kepastian seperti ini, adalah ilmu yang tidak dapat dipegang dan tak dapat menimbulkan rasa aman, sedang setiap ilmu yang tak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah ilmu yaqini”.
Metode analitik dengan ketiga criteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di atas, sebenarnya merupakan refleksi pemikiran, khususnya logika, para filsof sebelumnya, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang berakar pada aristoteles.
Dengan contoh, ilmu sebagai tangkapan mata batin (akal) analog dengan penglihatan mata lahir, yang berarti terpecahnya gambar objek pada indra penglihat sebagaiman tercetaknya secara estimative gambar-gambar objek, yakni tercetak padanya salinan yang cocok dengan objek pada cermin, demikian pula akal ibarat cermin yang padanya tercetak “gambar-gambar” ma’qulat (objek-objek akal), yakni substansi dan esensinya sebagaimana realitasnya sendiri. Nafs (jiwa) atau qalbu manusia sebagai substansi yang merupakan esensinya ibarat besi cermin; akal yang merupakan potensi (hai’ah garizah) pada nafs/qalbu yang menjadikan siap menerima cetakan ma’qulat ibarat yang mengilapnya, dan terhasiljkannya “gambar-gambar” pada cermin akal, yang merupakan “salinan” objek-objek, itulah ilmu.
Sesudah mengkritik definisi-definisi lain serata memberikan analisis dan contoh, ia pun mengajukan definisi atau rumusan sendiri, dengan peringatan bahwa yang lebih penting adalah substansi objek yang dituju, bukan definisi dan redaksinya, antara lain sebagai berikut:
“karena ilmu artinya adalah salinan (yang terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu.”
“ia (ilmu” adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu dengan kepastian yang berdasarkan argument bahawa ia begini atau bukan begini, dan kenyataan sesuatu itu demikian.”
“Maka ‘alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu)…. Sebab ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu.”
“Maka ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambaran-gambaran objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal.”
Demikian, terdapat kesamaan dari kalangan semua pemikran muslim dalam tiga hal. Pertama, mereka tidak menunjuk ilmu mutlak sebagai disiplin atau substansi di luar dari subjek, melainkan sebagai sifat, hal mengetahui atau terhasilkannya “gambar’ atau “salinan” objek dalam diri sendiri subjek, yang sesudah dinyatakan atau dituangkan dalam bahasa lisan atau tulisan, dihimpun dan disusun secara sistematik serta diklasifikasikan ke dalam bidang-bidang tertentu. Dengan demikian, ilmu dalam arti disiplin adalah kumpulan ilmu (pengetahuan) yang dinyatakan atau atau dituangkan dalam bahasa lisan atau tulisan, yang disusun secara sistematik dan diklasifikasikan ke dalam bidang tertentu sehingga menjadi sebuah sistem.
Kedua, bahwa ilmu harus sesuai dengan realitas objek, seperti terlihat dari definisi-definisi di atas, yakin mereka menganut teori kebenaran korespondensial, tanpa mengabaikan kebenaran koherensial.
Ketiga, mengenai keluasan objek ilmu. Menurut mereka termasuk Al-Ghazali, semua ma’lum (yang diketahui) adalah objek ilmu, baik maujud (yang ada), maupun ma’dum (yang tiada) dari sudut ketiadaanya dalam realitas aktul, meskipun mereka berbeda konsep apakah ma’dum termasuk sayi’ (sesuatu) atau bukan.
Dengan demikian, bagi Al-Ghazali, “gambar” atau “salinan” objek yang ada pada akal itu bukan hanya “gambar” atau “salinan” obek sensual yang diperoleh melalui panca indera, mencakup substansi dan sifat-sifatnya, tetapi juga “gambar” atau “salinan” objek rasional yang diperoleh akal secara langsung tanpa bantuan pancaindra, seperti objek ilmu-ilmu rasional a priori, termasuk tangkapan akal terhadap kenyataan diri dan “gambar” atau “ salinan” objek yang ada dalam dirinya sendiri, dan objek ilmu-ilmu inferensial yang diperoleh akal berdasarkan data empiric sesnsual dan berdasarkan analogi yang gaib pada yang tampak yang mencapai derajat ilmu, serta apa yang hanya ada dalam konsep mental, seperti kemustahilan, bilangan dua keatas, dan sebagainya. Bahkan bukan hanya menyangkut aspek-aspek factual menurut “apa adanya”, tetapi juga menyangkut fungsi dan nilai-nilai fraksisnya (atis-yuridis) dari sudut sikap dan perbuatan manusia terhadapnya. Ilmu yang objeknya realitas factual disebutnya ilmu teoritis atau ilmu penyingkapan realitas factual mengenai keempat kawasan realitas di atas, termasuk metematika, sedang yang objeknya nilai dan norma disebutnya ilmu praksis atau ilmu kehidupan praksis, yang pokoknya adalah etika( kepribadian, kekeluargaan, dan kemasyarakatan) dan fiqih/hukum. Skema ini sebenarnya diambil dari Aristoteles melalui Al-Farabi dan Ibn Sna, yang oleh Al-Farabi dan Al-Ghazali dikombinasikan dengan islam seperti dengan menambahkan fiqih ke dalamnya.





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Al-ghazali berpendapatmengenai hakekat ilmu dalam empat pernyataanya yaitu :
“karena ilmu artinya adalah salinan (yang terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu.”
“ia (ilmu” adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu dengan kepastian yang berdasarkan argument bahawa ia begini atau bukan begini, dan kenyataan sesuatu itu demikian.”
“Maka ‘alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu)…. Sebab ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu.”
“Maka ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambaran-gambaran objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal.”



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, S. (2007). Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.




 semoga bermanfaat, dan jangan lupa untuk share yah atau komen jika ada kekeliruan, terimakasih atas kunjungan kalian semua,,,, sampai bertemu di post post berikutnya dan jangan bosan untuk berkunjung ke blog ini, SALAM SENYUM dan SEMANGAT untuk para pemirsa,,,, sampai jumpa dilain waktu

No comments:

Post a Comment