Selamat pagi, siang, sore, dan malam para pemirsa yang budima hehe sedikit menyapa setelah sekian lama tak berjumpa dengan postingan saya yang bisa dibilang begitu-begitu saja alias datar.... maafkan lah karena saya masih amatir (hehee). ok kali ini saya akan berbagi materi mata kuliah saya.... mata kuliah ini mungkin jarang ada di beberapa universitas. ya.. langsung saja .....
HAKEKAT ILMU
MENURUT KONSEP AL-GHAZALI
Disusun Oleh :
Verawati Krisnen
(16862061018)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat
Imu Al-Ghazali
Dosen Pengampuh: Drs. KH. Nasrulloh, M.H.
Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
UNIVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA AL-GHAZALI
Semester Genap
Tahun Akademik 2016/2017
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Morfologi Bahasa.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Cilacap,
2 Mei 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................
i
Kata Pengantar...............................................................................................
ii
Daftar Isi.........................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar
Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
A. Hakekat
Ilmu Menurut Konsep Alghazali............................................ 2
BAB III PENUTUP....................................................................................... 10
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Definisi
ilmu terdiri dari dua kata, yaitu kata filsafat dan kata ilmu. Masing-masing memiliki makna yang berbeda dan
hakekat yang berlainan. Kata filsafat sebagai pengetahuan tentang kebijaksanaan
(Sophia), prinsip-prinsip mencari
kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam, dan tuntas (radikal) dalam
memperoleh kebenaran. Adapun ilmu (Science),
diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu, atau bagian dari pengetahuan.
Dalam
pengertian filosof hakekat ilmu sering
dikaitkan dengan pengetahuan. Namun bagaimana hakekat ilmu menurut konsep
Al-Ghazali dan apa yang membedakan dari pendefinisian dan konsep ilmu menurut
Al-Ghazali dengan definisi para filosof lain yang sering kita dengar bahwa
Al-Ghazali banyak tidak sependepat dengan para filosof.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana hakikat ilmu menurut konsep Al-Ghazali ?
1. Bagaimana hakikat ilmu menurut konsep Al-Ghazali ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui hakekat ilmu menurut konsep Al-Ghazali.
1. Mengetahui hakekat ilmu menurut konsep Al-Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Ilmu Menurut Konsep Al-Ghazali
Mengenai
hakekat ilmu secara mutlak (tidak dikaitkan dengan objek atau disiplin
tertentu), para ulama islam berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, (a priori),yang dapat dikonsepsi hakikatnya begitu saja sehingga
tidak memerlukan definisi, atau nazari (interferensi), tetapi sulit
mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan
analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari
yang tidak sulit didefinisikan.
Pendapat pertama dianut
antara lain oleh Fakhr Al-Din Al-Razi, pendapat kedua antara lain oleh
Al-Juwaini dan Al-Ghazali, dan pendapat ketiga oleh jumhur (mayoritas) ulama.
Mestinya
jumhur ulama (Bayaniyyun) mengakui
sulitnya pendefinisian ilmu, sebab ternyata di kalangan merka sendiri
bermunculan aneka definisi dan masing-masing hanya membenarkan definisi
sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah sebagai berikut.
a. Definisi
Mu’tazilah:
“Ilmu
adalah mengitikadkan (mempercayai) sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai
ketenangan dan ketetapan jiwa padanya (bila ia muncul secara daruri atau nazari)”
Seperti
dirumuskan ‘Abd Al-Jabbar (325-415 H) bahwa Ma’rifah
dirayah, atau ilmu adalah:
“Apa
yang menghasilkan ketenangan jiwa,
kesejukan dada, dan ketentraman hati.”
b. Definisi
Bazdawi (427-493 H), dari Maturidiyah, sebagai berikut:
“Ilmu
adalah menangkap objek ilmu sesuai kenyataan.”
Definisi
Jurjani, seorang Maturidi lain, sebagai berikut:
“ia
(ilmu adalah I’tiqad (kepercayaan) yang pasti dan sesuai dengan realitas
(objek).”
c. Definisi
Juwaini (419-478 H) dan Baqillani (keduanya dari Asy’ariyah), dan Abu Ya’la
(dari Hanabilah) sebagai berikut:
“ilmu
adalah mengetahui objek ilmu sesuai realitasnya.”
d. Definisi
Ibn Hazm (384-456 H/ 924-1064 M), sebagai berikut:
“Ilmu adalah meyakini sesuatu
sebagaimana realitasnya sendiri.”
e. Definisi
Asy Syaukani (w. 1255 H), dari family Zaidi, yang didukung Qannuji, sebagai
berikut:
“Ilmu adalah sifat yang dengannya
apa yang dicari terbuka secara sempurna.”
Bahkan
beberapa kaum filosof turut ikut mendefinisikan ilmu, seperti berikut:
a. Definisi
Ibn Rusyd (520-595 H/ 1126-1198 M) :
“Sesungguhnya
ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu
sebagaimana realitasnya sendiri.”
b. Definisi
para filosof kuno:
“Ilmu
adalah terhasilkannya “gambar” sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu
merupakan universal atau particular, baik ada maupun tiada.”
Sebaliknya,
bagi al-Razi (544-606 H/ 1149-1209 M), pengonsepsian ilmu merupakan sesuatu
yang a priori (daruri), sebab segala
sesatu selain ilmu tidak tersingkap, kecuali dengan ilmu, sehingga mustahil, ia
menyingkap ilmu, dan semua orang yang mengetahui secara a priori keadaaanya
mengetahui keberadaanya, sedang pengonsepsian ilmu merupakan bagian darinya.
Karena bagian dari yang a priori
adalah a priori, pengonsepsian ilmu
adalah a priori. Ia menolak statemen
bahwa ilmu adalah tercetaknya “gambar” yang sama dengan objek pada mental
subjek, sebab kesamaan menghendaki yang mengetahui panas dan dingin haruslah
“panas dan dingin”.
Walaupun dalam hal ini Al-Ghazali mengikuti gurunya
Al-Juwaini, namun beliau memiliki konsep dasar yang melatar belakangi yang
membedakan dengan pendapat sang guru, yaitu mengenai hakekat yang “ada” yang
membentuk konsep mengenai hubungan lafaz-makna dan definisi. Dari klasifikasi
“ada” (wujud) dibagi menjadi empat derajad yaitu:
1. “Ada”
sesuatu ada realitanya sendiri.
2. “Ada”
dalam konsep mental yang disebut ilmu.
3. “Ada”
dalam lafaz (ungkapan lisan).
4. “Ada”
dalam tulisan.
Al-Ghazali
berpendapat bahwa makna lebih penting daripada lafaz, karena itu mengenai
definisi. Definisi menurut Al-Ghozali dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Definisi
esensial (haqiqi).
2. Definisi
formal-diferensial (resmi).
3. Definisi
redaksional-eksplanatif (lafzi).
Fungsi
dan tujuan definisi adalah memperjelas apa yang belum jelas. Definisi
diperlukan untuk mengonsepsi hal yang tidak dapat dikonsepsikan secara apriori,
seperti makna simpelia tidak menegaskan apakah pengonsepsian hakikat “ilmu” itu a
priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya bahwa hakikat ilmu sulit
didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi, dan persyaratan
definisi sendiri, maupun karena pendefinisian hakikat ilmu selalu terikat
dengan konsep ontologis pembuatnya. Dan pada kenyataannya banyak para ulama
dalam kitab-kitab mereka mendefinisikan ilmu berdasarkan kategori definisi
formal.
Bagi
Al-ghazali ilmu secara substansial hanya satu, tidak ada pemisahan pada “ilmu
lahir” dan ilmu batin”, kecuali dari segi objeknya. Menurut Al-Ghazali dan
Al-juwaini, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi
untuk memperoleh makna formal, dan dengan contoh untuk memperoleh makna
esensial. Dengan analisis, ilmu berbeda dengan iradah (kehendak), qudrah
(kemampuan) dan sifat jiwa lain, dan berbeda dengan i’tiqad (prepsuposisi), zann
(dugaan kuat), syak (skeptik), jahl (ketidak tahuan) dan apa yang
diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik.
Berdasarkan metode analitik dan dengan tiga
criteria ilmu yang menyangkup aspek ontologism, epistimologis, dan aksiologis
yang diajukan Al-Ghazali, di ikuti dan dirumuskan oleh Ar-Razi bahwa ilmu
adalah. “putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan
metode ilmiah (mujib) tertentu”
berakar pada jalan a priori. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula
dengan cara mengikuti orang yang diperintahkan Allah untuk diikuti, meskipun
bukan ilmu a priori dan tanpa argument, sehingga yang mengitikadkan dan
menyatakannya sudah memiliki ilmu dan ma’rifah mengenai objek dimaksud.
Bagi Al-Ghazali, pertanyaan yang pasti dari subjek
selain nabi tentang wahyu yang diterima nabi dan sesuai dengan realitas wahyu
dan nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut, juga adalah ilmu (tentang
ilmu), sedangkan tanpa argument adalah I’tiqad,
dan yang tidak pasti adalah zann atau
syak, dengan peringatan bahwa “yang
tidak mencapai tingkat kasyf dengan zauq
(intuisi) tidak mengetahui dari esensi kenabian, kecuali sekadar nama”. Di sini
Al-Ghazali berbeda dengan Ibn Hazm yang mengakui juga I’tiqad tanpa argument terhadap kebenaran ajaran nabi, seperti pada
orang awam, sebagai ilmu.
Bagi Al-Ghazali, ada tiga macam tasqid (assent) secara gradual, yaitu:
1. zann
(dugaan kuat) , yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara
dengan mengakui kemungkinan benar sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak
dihalangi kecondongan pada yang pertama.
2. I’tiqad
jazim (kepercayaan yang teguh/tetap), yaitu tasdiq yang pasti, yaitu seseorang
tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain.
Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan secara kuat dari
manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti nabi, hal itu
menimbulkan keraguan tertentu terhadap kepercayaanya
3. ilmu
yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti, disertai
keyakinan yang pasti disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang
pasti itu benar, yakni kedunya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau
keliru, dan tak terbayangkan pendapatnya akan berubah dengan alas an apa pun.
Karena itu, dengan mengatakan bahwa zann hanya bisa
diakui dalam dunia dan disiplin ilmu praksis (amal dan ilmu ‘amali), seperti
ilmu fiqih dan ilmu-ilmu empiric-eksperimental (tarbiyyah), imam (keyakinan
keagamaan) terbagi tida kelas secara gradual,
1. Imam
awam, yang berdasarkan taqlid murni (mengekor tanpa argument),
2. Imam
mutakallimin, yang didukung oleh semacam argument, dan
3. Imam
‘arafin (yang memiliki ma’rifah), yaitu yang berdasarkan mukasyafah
(penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian) melalui riyadah (latihan spiritual)
dan mujahadah (perjuangan) tertentu.
Ilmu
macam itulah (ilmu yaqini) yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak dari
filsafat ilmunya, seperti dinyatakannya sebagai berikut:
“lalu
aku berkata dalam diriku: Pertama-tama apa yang kucari adalah ilmu tentang
hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu mengetahui apa itu hakikat
ilmu. Lalu tampaklah kepadaku bahwa ilmu yaqini adalah (sesuatu) yang degannya
objek ilmu terbuka dengan keterbukaan yang tidak mengandung keraguan keraguan
dan kemungkinan salah satu wahm (estimasi). Kalbu memang sulit untuk menentukan
hal itu, tetapi rasa aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian
rupa, sehingga kalaupun ia ditanyakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah
batu menjadi emas, atau mengubah tongkatmenjadi ular, misalnya, hal ini tidak
menimbulkan sedikit pun keraguan atau kemungkinan salah dalam diriku. Sebab,
bia aku mengetahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain mengatakan,
“tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10 dengan bukti bahwa aku bisa mengubah
tongkat ini menjadi ular”, dan kusaksikan memang terbukti demikian, hal itu hal
itu tak menggoyahkan ma’rifah-ku, dan tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku,
selain kekaguman atas kemampuannya mengenai hal itu. Adapun skeptic dalam
diriku tidak. Kemudian, aku tahu bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui
dengan cara seperti ini, dan aku tidak meyakininya dengan tingkat kepastian
seperti ini, adalah ilmu yang tidak dapat dipegang dan tak dapat menimbulkan
rasa aman, sedang setiap ilmu yang tak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah
ilmu yaqini”.
Metode
analitik dengan ketiga criteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di atas,
sebenarnya merupakan refleksi pemikiran, khususnya logika, para filsof sebelumnya,
seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang berakar pada aristoteles.
Dengan
contoh, ilmu sebagai tangkapan mata batin (akal) analog dengan penglihatan mata
lahir, yang berarti terpecahnya gambar objek pada indra penglihat sebagaiman
tercetaknya secara estimative gambar-gambar objek, yakni tercetak padanya
salinan yang cocok dengan objek pada cermin, demikian pula akal ibarat cermin
yang padanya tercetak “gambar-gambar” ma’qulat (objek-objek akal), yakni
substansi dan esensinya sebagaimana realitasnya sendiri. Nafs (jiwa) atau qalbu
manusia sebagai substansi yang merupakan esensinya ibarat besi cermin; akal
yang merupakan potensi (hai’ah garizah) pada nafs/qalbu yang menjadikan siap
menerima cetakan ma’qulat ibarat yang mengilapnya, dan terhasiljkannya “gambar-gambar”
pada cermin akal, yang merupakan “salinan” objek-objek, itulah ilmu.
Sesudah mengkritik definisi-definisi lain serata
memberikan analisis dan contoh, ia pun mengajukan definisi atau rumusan
sendiri, dengan peringatan bahwa yang lebih penting adalah substansi objek yang
dituju, bukan definisi dan redaksinya, antara lain sebagai berikut:
“karena ilmu artinya adalah salinan (yang
terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu.”
“ia (ilmu” adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu
dengan kepastian yang berdasarkan argument bahawa ia begini atau bukan begini,
dan kenyataan sesuatu itu demikian.”
“Maka ‘alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang
kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang
diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah
rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu)…. Sebab
ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu.”
“Maka ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal
terhadap gambaran-gambaran objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta
tercetaknya gambar-gambar itu pada akal.”
Demikian, terdapat kesamaan dari kalangan semua
pemikran muslim dalam tiga hal. Pertama, mereka tidak menunjuk ilmu mutlak
sebagai disiplin atau substansi di luar dari subjek, melainkan sebagai sifat,
hal mengetahui atau terhasilkannya “gambar’ atau “salinan” objek dalam diri
sendiri subjek, yang sesudah dinyatakan atau dituangkan dalam bahasa lisan atau
tulisan, dihimpun dan disusun secara sistematik serta diklasifikasikan ke dalam
bidang-bidang tertentu. Dengan demikian, ilmu dalam arti disiplin adalah
kumpulan ilmu (pengetahuan) yang dinyatakan atau atau dituangkan dalam bahasa
lisan atau tulisan, yang disusun secara sistematik dan diklasifikasikan ke
dalam bidang tertentu sehingga menjadi sebuah sistem.
Kedua,
bahwa ilmu harus sesuai dengan realitas objek, seperti terlihat dari
definisi-definisi di atas, yakin mereka menganut teori kebenaran
korespondensial, tanpa mengabaikan kebenaran koherensial.
Ketiga,
mengenai keluasan objek ilmu. Menurut mereka termasuk Al-Ghazali, semua ma’lum
(yang diketahui) adalah objek ilmu, baik maujud (yang ada), maupun ma’dum (yang
tiada) dari sudut ketiadaanya dalam realitas aktul, meskipun mereka berbeda konsep
apakah ma’dum termasuk sayi’ (sesuatu) atau bukan.
Dengan
demikian, bagi Al-Ghazali, “gambar” atau “salinan” objek yang ada pada akal itu
bukan hanya “gambar” atau “salinan” obek sensual yang diperoleh melalui panca
indera, mencakup substansi dan sifat-sifatnya, tetapi juga “gambar” atau
“salinan” objek rasional yang diperoleh akal secara langsung tanpa bantuan
pancaindra, seperti objek ilmu-ilmu rasional a priori, termasuk tangkapan akal
terhadap kenyataan diri dan “gambar” atau “ salinan” objek yang ada dalam
dirinya sendiri, dan objek ilmu-ilmu inferensial yang diperoleh akal
berdasarkan data empiric sesnsual dan berdasarkan analogi yang gaib pada yang
tampak yang mencapai derajat ilmu, serta apa yang hanya ada dalam konsep
mental, seperti kemustahilan, bilangan dua keatas, dan sebagainya. Bahkan bukan
hanya menyangkut aspek-aspek factual menurut “apa adanya”, tetapi juga
menyangkut fungsi dan nilai-nilai fraksisnya (atis-yuridis) dari sudut sikap
dan perbuatan manusia terhadapnya. Ilmu yang objeknya realitas factual
disebutnya ilmu teoritis atau ilmu penyingkapan realitas factual mengenai
keempat kawasan realitas di atas, termasuk metematika, sedang yang objeknya
nilai dan norma disebutnya ilmu praksis atau ilmu kehidupan praksis, yang
pokoknya adalah etika( kepribadian, kekeluargaan, dan kemasyarakatan) dan
fiqih/hukum. Skema ini sebenarnya diambil dari Aristoteles melalui Al-Farabi
dan Ibn Sna, yang oleh Al-Farabi dan Al-Ghazali dikombinasikan dengan islam
seperti dengan menambahkan fiqih ke dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-ghazali
berpendapatmengenai hakekat ilmu dalam empat pernyataanya yaitu :
“karena ilmu artinya adalah salinan (yang
terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu.”
“ia (ilmu” adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu
dengan kepastian yang berdasarkan argument bahawa ia begini atau bukan begini,
dan kenyataan sesuatu itu demikian.”
“Maka ‘alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang
kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang
diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah
rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu)…. Sebab
ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu.”
“Maka ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal
terhadap gambaran-gambaran objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta
tercetaknya gambar-gambar itu pada akal.”
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S. (2007). Filsafat Ilmu Al-Ghazali:
Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Pustaka Setia.
semoga bermanfaat, dan jangan lupa untuk share yah atau komen jika ada kekeliruan, terimakasih atas kunjungan kalian semua,,,, sampai bertemu di post post berikutnya dan jangan bosan untuk berkunjung ke blog ini, SALAM SENYUM dan SEMANGAT untuk para pemirsa,,,, sampai jumpa dilain waktu
No comments:
Post a Comment